Friday 7 January 2011

PENDIDIKAN MENURUT IMAM AL GHAZALI

BAB I

PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

Bagi negara timur tengah maupun barat hampir semua mengenal Al Ghazali. Ketenaran Al Ghazali bukan tanpa alasan. Kehadirannya banyak memberikan khazanah bagi kehidupan manusia. Sosok figur Al Ghazali sebagai pengembara ilmu yang sarat akan pengalaman mengantarakan posisinya menjadi personifikasi di segala bidang dan setiap zaman. Kegigihannya dalam menelusuri kebenaran ilmu yang bermodalkan otak brilian cemerlang, menjadi ciri keulamaan dan kecendikiawanan. Al Ghazali dikenal sebagai ilmuwan yang konsekuen. Kedalaman dan keluasan ilmunya tidak membuatnya sombong apalagi gegabah dalam dalam tindakan dan pikiran dalam menjalani persoalan kehidupan.

Selain itu Al Ghazali adalah seorang pakar pendidikan yang luas pemikirannya. Bahkan ia pernah menjadi praktisi selain sebagai pemikir pendidikan. Pengalamannya sebagai guru besar di masrasah nidzomiyah kemudian menjadi rektor di universitas nidzomiyah bagdad. Dan bertahun-tahun dia mendidik dan mengajar, memberikan kuliah yang karenanya ia begitu cerdas dan ahli pikir ulung, ia ikut pula memikirkan soal-soal pendidikan, pengajaran dan metode-metodenya.

Kami mencoba menghadirkan sajian pemikiran Al Ghazali dibidang pendidikan meskipun pembahasannya tidak dapat memberikan kepuasan pembaca, akan tetapi minimal dapat menggugah pembaca untuk mengakui dan menyadari bahwa pemikiran dan teori pendidikan Al Ghazali itu ada, banyak dan patut disimak .

  1. Rumusan Masalah

1. Bagaiman biografi Imam Al Ghazali ?

2. Apa pengertian pendidikan menurut imam Al Ghazali?

3. Apa tujuan pendidikan menurut Al Ghazali?

4. Bagaimana Kurikulum pendidikan menurut Al Ghazali ?

5. Bagaimana metode yang di gunakan Al Ghazali dalam pendidikan?

6. Bagaimana evaluasi pendidikan menurut Al Ghazali?


BAB II

PEMBAHASAN

  1. Biografi Imam Al Ghazali

Al Ghazali bernama lengkap Abu Hamid Muhammad ibnu Ahmad Al Ghazali Al Thusi. Ia dilahirkan pada tahun 450 H / 1058 M di Ghazal, Thus, provinsi Khurasan, republik Islam Iran. Dengan demikian dia adalah keturunan Persia asli. Orang tuanya gemar mempelajari ilmu tasawwuf, karena orang tuanya hanya mau makan dari hasil tangannya sendiri dari menenun wol. Ia juga terkenal pecinta ilmu dan selalu berdoa agar anaknya kelak menjadi seorang ulama. Amat disayangkan ajalnya tidak memberi kesempatan kepadanya menyaksikan anaknya berhasil sesuai dengan doanya. Sebelum meninggal ia masih sempat menitipkan Al Ghazali bersama saudaranya, Ahmad, kepada seorang sufi, sahabatnya untuk dididik dan di bimbingnya dengan baik.

Akan tetapi, hal ini tidak berjalan lama. Harta warisan yang ditinggalkan untuk bekal hidup kedua anak itu habis, sufi yang juga menjalani kecenderungan hidup sufistik yang sangat sederhana ini tidak mampu memberikan tambahan nafkah. Maka Al Ghazali dan adiknya diserahkan ke suatu madrasah yang menyediakan biaya hidup bagi para muridnya. Di madrasah inilah Al Ghazali bertemu dengan Yusuf Al Nassaj, seorang sufi kenamaan pada masa itu, dan disini pula sebagai titik awal bagi perkembangan intelektual dan spiritualnya yang kelak membawanya menjadi ulama besar yang berpengaruh dalam perkembangan pemikiran Islam. Sepeninggal gurunya, Al Ghazali belajar di Thus pada seorang ulama yang bernama Ahmad Ibnu Muhammad Al Razakanya Al Thusi. Selanjutnya ia belajar pula kepada Abu Nashr Al Isma’ily di Jurjan dan akhirnya ia masuk kesekolah di Naisabur yang dipimpin oleh Imam Al Haramain (Imam dua kota: Makkah dan Madinah). Selain itu, disekolah ini pula Al Ghazali pernah belajar teori dan praktik tasawwuf kepada Abu Ali al Fadhl ibnu Muhammad Ibnu Ali al Farmadhi (W. 477 H). Di sekolah nidzamiyah ini pula dia diangkat menjadi dosen dalam usianya yang 25 tahun kemudian setelah gurunya, al Juwaini, wafat 478 H Al Ghazali pindah ke Mu’askar dan berhubungan baik dengan nidzam Al Mulk, perdana menteri sultan bani Saljuk, yang kemudian mengangkatnya sebagai guru besar di sekolah ndzamiyah Bagdad.

Dikota bagdad ini, nama Al Ghazali semakin populer, khalaqah (kelompok) pengajiannya semakin luas. Dikota ini pula ia mulai berpolemik terutama dengan golongan bathiniyah isma’iliyah dan kaum filosof. Pada periode ini pula ia menderita krisis rohani sebagai akibat sikap kesangsiannya (al syak) yang oleh orang barat dikenal dengan skepticisme, yaitu krisis yang menyangsikan terhadap semua ma’rifat, baik yang bersifat empiris maupun rasional. Kemudian ia, meninggalkan semua jabatan yang disandangnya, seperti rektor dan guru besar di bagdad, ia mengembara ke damaskus. Dimasjid jami’ Damaskus, ia mengisolasi diri (Uzlah) untuk beribadah, kontemplasi, dan sufistik, yang berlangsung dua tahun. Lalu pada tahun 490H/ 1098 M ia menuju Palestina berdoa disamping kubur nabi Ibrahim AS kemudian, ia berangkat ke Makkah dan Madinah untuk menunaikan ibadah haji dan berziarah ke makam Rasulullah Muhammad SAW. Akhirnya, ia terlepas dari kegoncangan jiwa ini dengan jalan tasawwuf. Setelah sembuh dari penyakit rohaninya ini, Al Ghazali kembali memimpin perguruan tinggi nidzamiyah di Bagdad atas desakan perdana menteri Fakhr Mulk, anak Nidzam al Mulk. Setelah perdana menteri ini mati terbunuh, ia kembali ke Thus tempat kelahirannya, disini ia membangun sebuah madrasah Khan-Kah (semacam praktik suluuntuk mengajar tasawwuf. Usaha ini ia lakukan sampai ia wafat 18 Desember 1111M. Ia menghembuskan nafasnya yang terakhir dalam usia 5 tahun. Jasadnya dikebumikan disebelah timur benteng dekat Thabaran berdampingan dengan makam penyair yang terkenal Al Firdausy.

Adapun karyanya antara lain:

  1. Maqasid al Falasifah, berisikan ilmu mantiq, alam, dan ketuhanan.
  2. Tahafut al falasifah, berisikan kritik terhadap para filosof.
  3. Al Munqiz min al dhalal, dipaparkan didalamnya seperangkat ilmu yang mewarnai zamannya dan bebagai aliran yang penting. Ilmu dan aliran-aliran tersebut dikajinya secara kritis, kemudian dijelaskan kelebihan dan kesalahanya.
  4. Mizan al ‘amal, didalmnya berisikan penjelasan tentang akhlaq. Dari hasil pemaparan diatas dapat dilihat bahwa Al Ghazali dalam hidupnya telah menmpuh berbagai jalan dan meneliti berbagai madzhab; dimulai sebagai ahli hukum Islam, berbalik menjadi seorang teolog Muslim, berpindah sebagai filosof Muslim, dan berakhir sebagai seorang sufi.[1]

  1. Pengertian Pendidikan Menurut Al Ghazali

Al- Ghazali tidak merumuskan pengertian pendidikan secara jelas. Namin berdasarkan unsur pembentuk pengertian pendidikan yang diungkapkan dapat dirumuskan pengertian pendidikan menurut Al-Ghazali.

Adapun unsur-unsur pembentuk pengertian pendidikan dari Al-Ghazali dalam pernyataan berikut ini:

“Sesungguhnya hasil ilmu itu ialah mendekatkan diri kepada Allah, Tuhan semesta alam, menghubungkan diri dengan ketinggian malaikat dan berkemampuan dengan malaikat tinggi.”

“Dan ini, sesungghunya adalah dengan ilmu yang berkembang melalui pelajaran dan bukan ilmu yang beku yang tidak berkembang.”

Jika kita perhatikan, pada kutipan yang pertama, kata “hasil” menunjukkan proses, kata “mendekatkan diri kepada Allah” menunjukkan tujuan dan kata “ilmu” menunjukkan alat, sedangkan pada kutipan kedua merupakan penjelasan mengenai ilmu, yakni disampaikan dalam bentuk pengajaran.

Mengenai proses pendidikan, kapan dimulai dan kapan berakhirnya, Al-Ghazali mengemukakan bahwa batas awal berlangsungnya proses pendidikanadalah sejak bersatunya sperma dan ovum sebagai awal kejadian manusia. Mengenai batas akhir pendidikan, Al-Ghazali mengutip sebuah pernyataan Abu Darda sebagai berikut:

“Orang yang berilmu dan orang yang menuntut ilmu itu adalah dua sekutu yang berserikat pada kebaikan dan manusia yang lainnya adalah bodoh. Hendaklah engkau menjadi orang yang berilmu atau belajar atau mendengar, dan jangan engkau menjadi orang yang keempat (tidak salah seorang dari yang tiga tadi), maka binasalah engkau.”

Anjuran Abu Darda’ dalam pernyataan diatas adalah. Manusia harus berilmu dengan mengajarkan ilmunya selama hidup manusia dituntut untuk melibatkan diri dalam pendidikan sehingga mejadi insan kamil.

Dari uraian diatas, maka dapat dirumuskan pendidikan menurut Al-Ghazali adalah “Proses memanusiakan manusia sejak masa kejadiannya sampai akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap, dimana proses pengajaran itu menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat menuju pendekatan diri kepada Allah sehingga menjadi manusia sempurna (insan kamil).

  1. Tujuan Pendidikan Menurut Al Ghazali

Menurut Al Ghazali, pendidikan dalam prosesnya haruslah mengarah kepada pendekatan diri kepada Allah dan kesempurnaan insan, mengarahkan manusia untuk mencapai tujuan hidupnya yaitu bahagia dunia dan akhirat.

Pendekatan diri kepada Allah merupakan tujuan pendidikan. Orang dapat mendekatkan diri kepada Allah hanya setelah memperoleh ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan itu sendiri tidak akan dapat diperoleh manusia kecuali melalui pengajaran.

Dapat dipahami bahwa menurut Al Ghazali tujuan pendidikan dapat dibagi menjadi dua[2]:

1. Tujuan jangka panjang

Tujuan pendidikan jangka panjang ialah pendekatan diri kepada Allah. Pendidikan dalam prosesnya harus mengarahkan manusia menuju pengenalan dan kemudian pendekatan diri kepada tuhan pencipta alam. Semakin lama seseorang duduk dibangku pendidikan, semakin bertambah ilmu pengetahuannya, maka semakin mendekat kepada Allah.

Al Ghazali berkata:

“hasil dari ilmu sesungguhnya adalah mendekatkan diri kepada Allah, Tuhan semesta alam, dan menghubungkan diri dengan malaikat yang tinggi dan bergaul dengan alam arwah, itu semua adalah kebesaran, pengaruh, pemerintahan bagi raja-raja dan penghormatan secara naluri.”[3]


2. Tujuan jangka pendek

Menurut Al Ghazali tujuan pendidikan jangka pendek adalah diraihnya profesi manusia sesuai bakat dan kemampuannya. Sayarat untuk mencapai tujuan itu, manusia mengembangkan ilmu pengetahuan, baik yang termasuk fardhu’ain maupun fardhu kifayat. Dengan menguasai ilmu fardhu kifayah dan selanjutnya menguasai profesi tertentu, manusia dapat melaksanakan tugas-tugas keduniaan, dapat bekerja dengan sebaik-baiknya.

Dapat dirumuskan bahwa tujuan pendidikan menurut Al Ghazali adalah sebagai berikut:

1. Mendekatkan diri kepada Allah, yang wujudnya adalah kemampuan dan dengan kesadaran diri melaksanakan ibadah wajib dan sunah.

2. Menggali dan mengembangkan potensi atau fiteah manusia.

3. Mewujudkan profesionalisasi manusia untuk mengemban tugas keduniaan dengan sebaik-baiknya.

4. Membentuk masnusi yang berakhlak mulia, suci jiwanya dari kerendahan budi dan sifat tercela.

5. Mengembangkan sifat manusia yang utama sehingga menjadi manusia yang manusiawi.

  1. Kurikulum Pendidikan Menurut Al-Ghazali

Mengenai kurikulum pendidikan menurut al_ghazali ada dua hal yang menarikbagi kita.

Pertama, pengklarifikasiannya terhadap ilmu pengetahuan yang sangat terperinci dan segala aspek yang terkait dengannya. Sebagaimana dapat kita lihat skema dibawah ini.

ok

Kedua, Al-Ghazali mendasarkan pemikirannya bahwa kurikulum pendidikan harus disusun dan selanjutnya disampaikan kepada murid sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan psikisnya. Artinya, penjelasan harus disampaikan secara bertahap dengan memperhatikan teori, hukum, dan periodesasi perkembangan anak.

Pentahapan dalam kurikulum yang dirumuskan Al-Ghazali ini sesuai dengan proses pendidikan anak yang diajarkan Rasulullah secara didaktis, penjabarannya sebagai berikut:

1. Usia 00-06 tahun, adalah masa asuhan orang tua. Sedini mungkin anak dijaga dari segala yang mengotori jasmani dan ruhaninya, antara lain disembelihkan akikah dan diberi nama yang baik. Pendidikan pada usia ini bersifat informal, anak dibiasakan agar melakukan amalan-amalan yang baik berupa perkataan dan perbuatan yang terpuji dengan memberikan contoh-contoh praktis atau teladan. Dengan kata lain, usia ini adalah masa pendidikan secara dressur (pembiasaan).

2. Usia 06-09 tahun, adalah masa dimulainya pendidikan anak secara formal. Pada masa ini anak telah mampu menerima pengertian dari apa yang telah dibiasakan, anak juga mampu menerima ganjaran dan hukuman, tetapi dampak keduanya berbeda.

3. Usia 09-13 tahun, adalah masa pendidikan kesusilaan dan latihan kemandirian. Sebagai kelanjutan dari pembiasaan terhadap yang baik dan pemberian pengertian tentang apa yang dibiasakan, anak pada usia ini telah mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk.

4. Usia 13-16 tahun, adalah masa evaluasi terhadap pendidikan yang telah bejalan sejak pembiasaan, dimulainya formal, pendidikan kesulsilaan dan pendidikan kemandirian. Jika ditemukan kekurangan-kekurangan dalam mendidik anak, maka untuk membentuk pribadi yang mandiri dan bertanggung jawab atas segala perbuatan yang dilakukan, anak perlu diberi sangsi. Misalnya ketika meninggalkan shalat.

5. Usia 16tahun dan seterusnya, adalah pendidikan kedewasaan. Menurut Islam, anak usia ini diangap dewasa dan segala yang dilakukan sudah mempunyai nilai tersendiri dihadapan Allah.[4]

Jika kita perhatikan apa yang diuraikan Al-Ghazali mengenai kurikulum pendidikan, maka sebenarnya Islamiyah yang mempelopori pembahasan mengenai tahap yang berbeda dalam pertumbuhan dan perkembangan anak serta hak dan kebutuhan dalam setiap tahapan.


  1. Metode Pendidikan Menurut Al Ghazali

Setelah menguraikan pentahapan pendidikan, maka kemudian Al-Ghazali menciptakan pemikirannya tentang metode khusus yang mana beliau lebih menitik beratkan pada pendidikan agama dan akhlak.

a. Metode khusus pendidikan agama

Metodik pendidikan agama menurut Al-Ghazali, pada prinsipnya dimulai dengan hafalan dan pemahaman, kemudian dilanjutkan dengan keyakinan dan pembenaran, setelah itu penegakan dalil-dalil dan keterangan yang menunjang penguatan akidah. Yang demikian ini merupakan pantulan dari sikap hidupnya yang sufi dan tekun beribadah. Dari pengalaman pribadinya, Al-Ghazali menemukan cara untuk mencegah manusia dari keraguan terhadap persoalan agama ialah adanya keimanan terhadap Allah, menerima dengan jiwa yang jernih dan akidah yang pasti pada usia sedini mungkin. Kemudian mengkokohkan dengan argumentasi yang didasarkan atas pengkajian dan penafsiran Al-Qur’an dan hadist-hadist secara mendalam disertai dengan tekun beribadah, bukan melalui ilmu kalam atau lainnya yang bersumber pada akal.

b. Metode khusus pendidikan akhlak

Uraian Al-Ghazali tentang metodik praktis dan metodik khusus membentuk akhlak mulia menunjukkan bahwa untuk mengadakan perubahan akhlak tercela anak adalah menyuruhnya melakukan perbuatan yang sebaliknya. Hal ini dapat dimengerti karena penyakit badan atau raga, maka obatnya adalah membuang penyakit itu.[5]

  1. Evaluasi Pendidikan Menurut Al Ghazali

Menurut Al-Ghazali, evaluasi pendidikan berarti usaha memikirkan, membandingkan, memprediksi (memperkirakannya), menimbang, mengukur, dan menghitung segala aktifitas yang telah berlangsung dalam proses pendidikan, untuk meningkatkan usaha dan kreativitasnya sehingga dapat seefektif dan seefisien mungkin dalam mencapai tujuan yang lebih baik diwaktu yang akan datang.

Adapun subyek evaluasi pendidikan adalah orang yang terikat dalam proses kependidikan meliputi : pimpinan, subyek didik, wali murid, dan seluruh tenaga adminstrasi. Dan yang menjadi evaluasi pendidikan adalah semua bentuk aktivitas yang terkait dengan tugas tanggung jawabnya masing-masing dalam proses kependidikan.[6]

Tujuan evaluasi pendidikan ialah mengontrol efektifitas dan efisiensi usaha dan sarana, mengetahui segi-segi yang mendukung dan menghambat jalannya proses kependidikan menuju tujuan. Segi-segi yang menghambat diperbaiki atau diganti dengan usaha atau sarana lain yang lebih menguntungkan.


BAB III

KESIMPULAN

Pendidikan menurut Al-Ghazali adalah “Proses memanusiakan manusia sejak masa kejadiannya sampai akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap. Tujuan pendidikan jangka panjang ialah pendekatan diri kepada Allah. Menurut Al Ghazali tujuan pendidikan jangka pendek adalah diraihnya profesi manusia sesuai bakat dan kemampuannya.

Metodik pendidikan agama menurut Al-Ghazali, pada prinsipnya dimulai dengan hafalan dan pemahaman, kemudian dilanjutkan dengan keyakinan dan pembenaran, setelah itu penegakan dalil-dalil dan keterangan yang menunjang penguatan akidah. Uraian Al-Ghazali tentang metodik praktis dan metodik khusus membentuk akhlak mulia menunjukkan bahwa untuk mengadakan perubahan akhlak tercela anak adalah menyuruhnya melakukan perbuatan yang sebaliknya.

Menurut Al-Ghazali, evaluasi pendidikan berarti usaha memikirkan, membandingkan, memprediksi (memperkirakannya), menimbang, mengukur, dan menghitung segala aktifitas yang telah berlangsung dalam proses pendidikan, untuk meningkatkan usaha dan kreativitasnya sehingga dapat seefektif dan seefisien mungkin dalam mencapai tujuan yang lebih baik diwaktu yang akan datang.


DAFTAR PUSTAKA

Rusn, Abidin Ibnu. “Pemikiran Al Ghazali Tentang Pendidikan”. Pustaka Pelajar : Yogyakarta. 1998

Zainuddin. “Seluk Beluk Pendidikan Al Ghazali”. Bumi Aksara : Jakarta. 1991

Osman, bakar. “Hierarki Ilmu Membangun rangka Pikir Islamisasi Ilmu”. Mizan: Bandung. 1997.

Nasution, Hasyimsyah. “Filsafat Islam”. Gaya media pratama: Jakarta. 2005



[1] Osman, bakar. Hierarki Ilmu Membangun rangka Pikir Islamisasi Ilmu. 1997. Mizan: Bandung . hal. 183-185

[2] Rusn, Abidin Ibnu. “Pemikiran Al Ghazali Tentang Pendidikan”. Pustaka Pelajar : Yogyakarta. 1998. Hal 56 – 59

[3] Zainuddin. “Seluk Beluk Pendidikan Al Ghazali”. Bumi Aksara : Jakarta. 1991. Hal. 46

[4] Rusn, Abidin Ibnu. “Pemikiran Al Ghazali Tentang Pendidikan”. Pustaka Pelajar : Yogyakarta. 1998. Hal 89

[5] Rusn, Abidin Ibnu. “Pemikiran Al Ghazali Tentang Pendidikan”. Pustaka Pelajar : Yogyakarta. 1998. Hal 97

[6] Rusn, Abidin Ibnu. “Pemikiran Al Ghazali Tentang Pendidikan”. Pustaka Pelajar : Yogyakarta. 1998. Hal 105